KERINDUAN SEORANGANAK KECIL KEPADA BAGINDA RASULULLAH SAW

Post a Comment
bercucuran di dahi kecil
kedua dua anak yang sedang
berkerja ini. Mereka adalah adik
beradik. Mereka sedang bekerja
menimba air ditengah terik matahari yang panas menyengat, semenjak ayahnya meninggal seminggu yang lalu, mereka rela membanting tulang
bekerja kepada seorang Yahudi yang kaya raya tapi kikir dan
kejam, demi membantu ibunya. Mereka terlahir ditengah-tengah kondisi keluarga yang amat miskin. Keduanya berwajah tampan dengan rambutnya yang ikal. Sang adik kondisi tubuhnya
lebih lemah dan sakit-sakitan.
Wajahnya yang cengkung tampak
memerah oleh panasnya udara padang pasir di siang
dibawah panas terik. Ubaid sang kakak berhenti menimba dan berkata pada adiknya, ”Zaid,
beristirahatlah sejenak, biar aku yang melakukan sendiri.” Zaid tersenyum di antara wajahnya
yang lelah. Dia menggelengkan
kepala. ” Tidak. nanti Tuan kita marah- marah lagi seperti kemarin.”
Ubaid berusaha memujuk adiknya,
”Tuan kita sedang pergi pasar.
Lagipun kamu kan sudah berkerja
keras dari pagi tadi.Beristirahatlah, pekerjaan ini sebentar lagi selesai.”
Akhirnya Zaid mau beristirahat. Dia berteduh dibawah sebatang
pohon kurma. Tubuhnya memang
selalu sakit-sakit sejak ia lahir.
Untung Ubaid
adalah kakak yang baik dan
sayang
kepadanya. Angin berhembus
pelan
dan Zaid yang kelelahan itu
pun
tertidur tanpa terasa.
Tiba-tiba datanglah seorang
lelaki
gemuk menaiki keldai yang
kuat.
Namanya Raban, dia seorang
Yahudi
yang kaya raya. Dialah tuan
kepada
Ubaid dan Zaid. Sifatnya kikir
dan
jahat, begitu melihat Zaid
sedang
tertidur, ia langsung naik
angin.
Dibentaknya ke telinga Zaid
kuat-kuat.
” Jadi selama ni kerja kau
hanya
bermalas-malasan dan tidur
saja
seharian, hari ini kamu tidak
akan
dapat upah !”
Zaid kesakitan kerana
dipukul bertalu-
talu.Oleh kerana tidak
sanggup
melihat adiknya
diperlakukan
sebegitu, Ubaid segera
berlari
mendekati Zaid. ”Jangan
sakiti adikku
Tuan Raban yang baik,”
katanya
menghiba
”Dia pemalas, dan memang
sepatutnya aku pukul, kalau
begini
terus boleh gulung tikar aku
dibuatnya !” herdik si Raban.
”Kalau Tuan mau memukul,
pukullah
saya sebagai gantinya.”
jawab Ubaid.
Tiba-tiba melayanglah
tamparan keras
di pipi Ubaid. Kemudian
Raban
mengeluarkan uang dan
melemparkan ke tanah. ”Nah
kau
pemalas !” Mereka
memungut uang
tersebut dan bergegas
pulang.
Zaid
terisak-isak. Ia sangat
menyesal karena
sampai tertidur. Ia kasihan
melihat
Ubaid, tapi ia lebih menyesal
lagi,
karena uang yang dibawanya
pulang
untuk ibunya sangat sedikit.
Ah.. andai
Ayah mereka belum
meninggal,
kehidupan mereka tidak
akan sesulit
ini. Namun mereka masih
merasa
bangga, kerana mereka
mempunyai
ibu yang sangat bijaksana.
Betapapun
sedih hatinya melihat nasib
anak-
anaknya, ia selalu tersenyum
dan
selalu membuat mereka
bahagia, dan
tidak bosan-bosannya
senantiasa
mengingatkan mereka bahwa
sesungguhnya Allah selalu
bersama
orang-orang yang sabar.
Setiap malam tiba mereka
merasakan
suatu kesepian yang panjang,
mereka
merasa malam-malam
berikutnya
pastilah akan berlalu seperti
ini terus.
Namun ternyata Allah tidak
berlama-
lama membiarkan mereka
dalam
kesedihan. Kerana pada
suatu malam
datanglah tamu yang
ternyata Paman
Atib, adik kandung ibu
mereka. Paman
Atib itu seorang pemuda
yangg gagah
dan terpelajar. Dia singgah
untuk
menjenguk kakak dan anak-
anak
saudaranya.
Kedatangan pamannya
membawa
kebahgiaan tersendiri, persis
seperti
cahaya bulan yang masuk
dari celah-
celah jendela ke rumah
mereka.
Selama beberapa hari
mereka tidak
perlu bekerja terlalu berat,
karena
Paman Atib bekerja
membantu untuk
memenuhi keperluan mereka
hari-
hari.
Yang membahagiakan
mereka berdua
adalah dikala setelah selesai
solat Isya
kerana Paman Atib selalu
bercerita
tentang Rasulullah. Paman
Atib
memang pernah mengunjungi
Madinah dan beberapa kali
bertemu
Nabi Muhammad Saw. Ubaid
dan Zaid
sangat bahagia sekali jika
Pamannya
bercerita mengenai
Rasulullah.
Saat larut malam ketika
semua mahluk
terlelap, Zaid kecil
terbangun. Sayup-
sayup terdengar suara
Paman Atib
sedang melaksanakan solat
tahajud.
Perlahan Zaidpun bangkit
dan pergi
ke sumur. Dibasuhnya tubuh
yang
kurus dengan air wudlu.
”Subhanallah,” ucapnya
sambil
mengagumi langit malam
yang
gemerlap. Teringat ia akan
syair
musafir yang pernah lewat
hendak
menuju Madinah, yang
didendangkan
dengan penuh rasa cinta.
Yaa... Muhammad...
Ini aku musafir yang dalam
kesusahan ...
Berjalan jauh harungi batu-
batu
tandus.
Tertatih-tatih menuju
tempatmu
berdo’a.
Lihatlah kakiku melepuh.
Rasanya sakit,
Yaa...Muhammad...
Kau lihat bajuku koyak dan
keringatku
kering.
Betapa aku menderita, Ya...
Muhammad...
Kuketuk pintu rumahmu
dengan rasa
malu
Kutakut aku terlalu hina
untukmu
Bukalahpintumu untukku
Yaa..
Muhammad...
Engkaulah sahabat dan Ayah
orang-
orang yang menderita.
Bukakan pintu dan kutatap
wajahmu,
sambil melepas tangis rindu..
Tersenyumlah padaku dan
katakan
”Wahai hamba Allah...
Ini adalah rumah kasih
sayangmu...
Selamat datang dalam
genggaman
Persaudaraan Iman dan
Cinta.
Perlahan Zaid berdiri
disamping
Paman Atid dan kemudian
melakukan
solat Tahajud. Selesai sholat
mereka
berdua duduk menghadap
jendela
sambil menikmati cahaya
bulan yang
mempesona.
”Paman..” panggil Zaid
dengan nada
sayu .
Paman Atib menoleh ke arah
anak
saudaranya itu. ”Ada apa
Zaid ?”
tanyanya sambil tersenyum.
”Benarkah Paman besok
akan pergi ?”
tanya Zaid sambil tetap
menatap
bulan. Paman Atib terdiam
sejenak. ”
Ya... Zaid, Paman harus
pergi...”
jawabnya kemudian.
”Pergi kemana ?” tanya Zaid.
”Ke Madinah..” jawab Paman
Atib.
Zaid menoleh dan menatap
wajah
pamannya dalam-dalam. ”
Paman
akan bertemu Rasulullah?”
tanyanya
perlahan.
Paman Atib tersenyum dan
mengangguk. ”Insya
ALLAH...”
jawabnya.
”Apakah Rasulullah seorang
yang kaya
raya, Paman ?” tanya Zaid.
”Rasulullah adalah seorang
Nabi,
bukan seorang raja, Zaid,”
jawab
Paman Atib.
”Beliau tidur diatas tikar
yang serupa
dengan yang kita pakai.
Beliau
memakai pakaian seperti
yang kita
pakai. Beliau juga memakan
makanan
seperti yang kita makan,
yaitu
beberapa butir kurma dan
segelas air.
Sesekali beliau minum susu
kambing
itupun hadiah dari para
tetangganya”.
Zaid termenung. Tadinya dia
berharap
bahwa Nabi akan lebih kaya
daripada
Raban. Tetapi kini dia
tercenung.
Kerana kekayaan Nabi tidak
lebih dari
keluarganya sendiri,
bagaimana
mungkin seorang yang tidak
kaya bisa
ditaati semua orang ?,
bukanlah
Raban yang kaya itu tinggal
mengatakan sesuatu maka
semua
keinginannya akan terkabul.
”Kalau Nabi bukan orang
kaya,
bagaimana Beliau bisa
membantu
kita, rakyat yang miskin ini,
Paman ?”
tanya Zaid keheranan.
Paman Atib tersenyum.
”Nabi kita
punya kasih sayang, wahai
Zaid.
Dengan kasih sayang itulah
Nabi
menolong semua umatnya,”
kata
Paman Atib dengan lembut. ”
Bila
beliau ada sedikit wang, akan
dibagi-
bagikannya kepada para
fakir miskin.
Beliau juga mengajarkan
pada orang
kaya, agar senantiasa
membantu
saudara-saudara mereka
yang
kesusahan. Kasih sayang Nabi
tidak
terbatas, wahai Zaid. Kasih
sayang
Nabi meliputi seluruh alam.”
Zaid tercenung.
”Subhanallah...”
ucapnya sayu.
”Bila seseorang memberi
kasih
sayang, ia akan di beri kasih
sayang
pula oleh Allah dan orang-
orang lain,”
kata paman Atib.
Zaid termenung lagi.
Walaupun Raban
kaya, tetapi ia tidak
disayangi orang
karena sifatnya yang kejam.
Kekayaan
Raban tidak ada artinya
dibandingkan
kekayaan kasih sayang Nabi.
”Paman..., kalau kasih
sayang Nabi
seluas alam ini, berarti Nabi
juga
menyayangi anak-anak ?”
tanya Zaid
penuh harap.
Paman Atib meraih Zaid dan
mendudukkannya di
pangkuan. ” Bila
Rasulullah bertemu anak-
anak, Beliau
selalu menyapa mereka dan
mengajaknya tertawa,” kata
Paman
Atib. ”Beliau sering
mengajak mereka
berlomba lari dan memarahi
orang
dewasa yang berlaku jahat
kepada
anak-anak.”
Tanpa terasa air mata Zaid
mula
berlinang. ”Benarkah didunia
ini ada
orang sebaik itu ?” pikirnya
dalam hati.
Perlahan timbul rasa rindu di
hati
Zaid. Lalu Paman Atib
berkata lagi,
”Tetapi yang lebih besar dari
semua
itu adalah pengorbanan
Beliau di
jalan Allah. Tahukah engkau
Zaid,
ketika Rasulullah berdakwah
seorang
diri ke kota Thaif, Beliau
malah
dilempari batu oleh orang-
orang
bodoh itu sambil bersorak ?”
Zaid melompat dari
pangkuan Atib
dan bertanya dengan wajah
tegang.
”Dilempari batu ? lalu apa
yang terjadi
wahai Paman ? Apa yang
terjadi ?”
”Tubuh dan kaki beliau
terluka,
sehingga sepanjang jalan kota
Thaif
berciciran dan bercak-
bercak darah
suci yang mengalir dari luka
itu...”
jawab Paman Atib dengan
murung.
Tubuh Zaid terasa lemas,
kepalanya
tertunduk seraya jatuh
berlutut.
”Subhanallah...Subhanallah...
.”
bisiknya tersendat.
Mendadak ia
mengenggam tangan Paman
Atib
erat-erat. Kemudian dia
mendongakkan kepala dan
memandang wajah Paman
Atib lekat-
lekat. Matanya berkaca-
kaca, namun
sorot matanya penuh dengan
kemarahan.
” Paman...” ujarnya
tersendat-sendat.
”Bersumpahlah dengan nama
Allah
yang Maha Perkasa, bahawa
Paman
akan menghunus pedang dan
saya
akan menyiapkan
persiapannya. Lalu
kita hancurkan kota orang-
orang kafir
itu sampai Allah memberi
kemenangan, atau kita mati
syahid.”
Paman Atib membalas
tatapan Zaid,
sementara kedua tangannya
memegang bahu Zaid erat-
erat.
Paman Atib menggeleng-
gelengkan
kepalanya perlahan.
”Zaidku...”
katanya dengan penuh rasa
kasih
sayang. ”Rasulullah adalah
Suri
Tauladan dan ikutan setiap
Muslim,
bukankah begitu ?” Zaid
mengangguk
perlahan, sementara air
matanya
makin menggenang sehingga
wajah
Paman Atib pun terlihat
suram
olehnya.
”Tahukah engkau wahai
Zaidku, apa
yang dilakukan Rasulullah
setelah
menerima perlakuan
demikian
kejam ? tahukah engkau ?”
tanya
Paman Atib lagi. Zaid
menggeleng
disertai air matanya yang
mulai
mencair dan meleleh
dipipinya.
”Apakah Rasulullah akan
memohon
agar Allah menghukum
orang-orang
itu ? Padahal setiap do’a
Beliau akan
dikabulkan Allah. Apakah
Rasulullah
akan memohon agar kota
Thaif
dihancurkan ?” tanya Paman
Atib
bersungguh-
sungguh..Malaikat Jibril
datang pada Baginda dan
memohon
izin untuk diangkat gunung di
sebalik
kota thaif itu untuk
dihempapkan ke
kota itu.Tetapi dihalang
baginda.Baginda tidak sampai
hati
melihatnya.Lalu disapu
darah yang
mengalir di kakinya tadi.”
”Ternyata
tidak wahai Zaid, tidak.
Rasulullah
malah memohon agar Allah
memaafkan mereka semua..
Zaid
semakin tersedu-sedu karena
terharu.
Tak pernah didengarnya ada
manusia
sebaik dan seagung itu.
Paman Atib memeluk Zaid
kecil
didekapnya ke dadanya. Ia
mengelus
punggung Zaid sambil
berbisik, ”Dan
setelah bertahun-tahun
berlalu,
akhirnya orang-orang Thaif
memeluk
Islam. Orang yang dulu
melempari
Nabi dengan batu, kini telah
menjadi
saudara kita. Saudara dalam
Iman
dan cinta. Semua itu berkat
cinta dan
kesabaran Nabi terhadap
sesamanya.
Dan kita harus meneladani
Beliau.
Kamu paham kan Zaidku ?”
Zaid mengangguk dalam
tangisnya.
Hatinya semakin terjerat
rindu dengan
manusia seagung itu.
”Paman...”
katanya dengan suara serak.
”Ajaklah
aku bersamamu. Aku ingin
menjaga
Rasulullah agar tak ada
orang yang
dapat mencelakainya lagi.”
”Zaid,” kata Paman Atib lagi.
”Kamu
masih kecil dan perjalanan
ke
Madinah sangat jauh.
Lagipula yang
harus kau jaga disini adalah
ibumu,
ingatlah itu.”
Zaid menggeleng-gelengkan
kepala.
”Kak Ubaid dapat menjaga
ibu disini.
Lagipula aku tidak takut
perjalanan
jauh, wahai Paman. Biar
kecil begini
tubuhku tetapi aku masih
kuat asalkan
dapat berjumpa
Rasulullah...” Tak ada
yang bisa memujuk Zaid
untuk tetap
tinggal. Kerinduannya untuk
bertemu
Rasulullah sudah sedemikian
besarnya sehingga
menyesakkan
dada. Ibu Zaid yang
bijaksana itupun
rela melepaskan kepergian
Zaid. Ia
melihat sorot mata Zaid
begitu kuat
untuk bertemu dan menjaga
Rasulullah. Karena sang Ibu
sedar,
meskipun Zaid masih kecil,
gunung
sekalipun tak akan mampu
menghalangi semangatnya.
Akhirnya berangkatlah Zaid
bersama
Paman Atib ke Madinah.
Selama
perjalanan Zaid tidak pernah
bermalas-malasan. Ia
membantu
mencari kayu bakar dan
membuat
makanan. Ia juga membantu
memasang tali kekang unta
dan
menurunkan barang-
barangnya.
Pokoknya ia senang sekali.
Siapa yang
rajin, ia akan bahagia, begitu
selalu
dikatakan ayahnya sebelum
meninggal.
Tak terasa setelah berhari-
hari mereka
melakukan perjalan berat,
sampailah
mereka dipinggir kota
Madinah. Hati
Zaid begitu berbunga-bunga.
”Besok
aku akan bertemu
Rasulullah,”
pikirnya dengan hati
berdebar-debar
karena senang. Malam itu
Zaid tidak
bisa tidur. Ia ingin matahari
segera
terbit. Tetapi semua ia
rasakan
berputar terlalu lama.
Keesokan harinya mereka
memasuki
Madinah. Namun suasana
Madinah
diliputi awan mendung.
Dimana-
mana terlihat kesedihan.
Kaum wanita
maupun laki-laki terlihat
terisak-isak,
dan wajah mereka
menampakkan
kesedihan yang
menggambarkan
seakan-akan ada sesuatu
kejadian
yang sulit dipercaya.
Bertanyalah Paman Atib
kepada
mereka ”Wahai saudaraku
ada apa
gerangan , kenapa seisi
Madinah
terlihat berduka ?”
”Nabi telah wafat ...”
”Innalillahi wainnailaihi
roji’un...”
Dada Zaid tiba-tiba terasa
sesak.
Seorang Nabi sekaligus ayah
mereka,
seorang pemimpin sekaligus
sahabat
mereka telah tiada. Siapa tak
kan
sedih. Bahkan pelepah-
pelepah
kurmapun merunduk
sementara
angin pun tidak bertiup.
Seluruh alam
benar-benar berduka.
Zaid tak dapat menahan
rindu, berita
tersebut seakan langsung
membuatnya lemas. Tiba-tiba
semua
perjalanan jauh yang tak
terasa itu
datang kembali. Tiba-tiba
semua
penyakit yang diderita dulu
kini
mencengkeram kembali.
Malam itu Zaid jatuh sakit.
Tubuhnya
menggigil kedinginan. Paman
Atib
berjaga semalaman. Akan
tetapi
menjelang subuh panas badan
Zaid
turun. Zaid meminta
Pamannya
membawanya keluar
halaman. ”Aku
ingin melihat bintang,”
katanya lirih.
Didokongnya tubuh Zaid yang
terbungkus selimut keluar
jendela.
Dibawanya Zaid hingga ke
sebuah
bukit, supaya Zaid dapat
memandang
bintang sepuasnya.
” Paman...” ucap Zaid sayu.
Setelah
ayah meninggal, seorang
Tabib yang
baik hati pernah memeriksa
tubuhku
yang sakit-sakitan ini. Kata
tabib
hidupku hanya tinggal
beberapa
bulan lagi. Yang tahu hal ini
hanya
Kak Ubaid. Ibu tidak kami
beritahu
karena takut Beliau sedih...”
ia
menghela nafasnya dalam-
dalam.
”Selama perjalanan aku
berusaha
menahan semua sakit agar
bisa
bertemu Rasulullah, tetapi
Allah
berkehendak agar kami
bertemu
ditempat yang lebih indah
dari dunia
ini. Be... betul kan, Paman ?”
Paman
Atib mengangguk perlahan
sambil
mendekap tubuh Zaid.
Sayup-sayup terdengar suara
syair
musafir,.
Tiada lagi indah bintang-
bintang di
langit...
Kerana bintang yang
terindah telah
tiada....
Tiada lagi sejuk cahaya
bulan...
Karena cahaya tersejuk
telah tiada...
Yaa... Muhammad...
Penuh rindu kudatangi kota
ini...
Namun Kau biarkan aku
sendiri....
Menunggu didunia fana ini...
Yaa... Muhammad...
Kalaupun tak kujumpai
Engkau disini
Janganlah Kau palingkan
wajah
dariku...
Bila kita bertemu suatu
saat...
Di akhirat nanti....
Zaid tersenyum. Sorot
matanya
perlahan-lahan terkatup, dan
tertutup
selamnya. Ia telah kembali
kepangkuan Allah SWT, sang
Maha
Pencipta. ”Innalillahi
wainnailahi
roji’un, selamat jalan Zaidku.
Sampaikan salam Paman buat
Rasulullah...” bisik Paman
Atib penuh
kehibaan
Angin malam berhembus
perlahan
seolah-olah berkata,
”Alangkah
berbaghagianya orang-orang
beriman. Mereka bersaudara
didunia
dan bersaudara di
akhirat...”
Semoga bermanfaat


Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter