AL-HABIB As-SAYYID MUHAMMAD BiN ALWY AL-MALIKY AL-HASANI [ Mekkah ]

Post a Comment

Al-Habib As-Sayyid Muhammad bin Alwy bin Abbas Al-Maliky Al-Hasany lahir di Makkah pada tahun 1365 H / 1947 H. Nasab beliau masih terkait dengan Imam Hasan, salah seorang cucu Rasulullah saw.
Ayah beliau Sayyid Alwy dikenal
sebagai ulama terkenal yang
mengajar di Masjidil Haram.
Lingkungan telah membuat beliau
sejak kecil lekat dengan ajaran-
ajaran agama. Ayahnya sendiri yang mendidik dan mengasah beliau hingga menjadi seorang yang cerdas dan piawai dalam masalah-masalah keagamaan.
Tentang ayahnya ini, salah seorang ulama kesohor Mesir Syekh Muhammad Al-Thayyib An-Najjar menulis, "Sayyid Alwy Al-Maliky adalah seorang ulama besar yang mulia yang biasa mendermakan hidup demi ilmu. Ia dengan penuh ketekunan membaca berbagai kitab
dan menulis berbagai buku seraya mengamalkan ilmu yang
dikuasainya. Rumahnya terletak
dekat Ka'bah yang mulia disekitar Makkah Al-Mukaramah. Ia bagaikan lembah indah yang menghimpun para ulama, pilihan diantara ulama
islam yang mendengarkan Al-Qur'an dan Sunah Nabi saw, seraya mengkajinya dengan mendalam dan membahasnya secara teliti. Kepada para santri sering didengarkan
berbagai sanjungan terhadap Nabi Muhamad saw, berupa syair yang dibacakan oleh Syekh Alwy dengan bahasa arab yang bagus disertai hati
yang tulus penuh ketakwaan dan
dihiasi keimanan yang jernih.
"Kecerdasan Sayyid Muhammad
terlihat sejak kecil, Hafal Al-Qur'an pada usia 7 ( tujuh ) tahun, Hafal Al- Muwaththa' ( kitab Hadits karya Imam Maliki, kitab tertua, atau yang pertama diterbitkan di dunia islam pada abad ke 2 H / VII M ) pada usia
15 tahun.
Dan pada usia 25 tahun, Sayyid Muhammad Al-Maliky meraih gelar doktor ilmu di Universitas Al- Azhar, Kairo, dengan predikat excellent, dibawah bimbingan ulama besar mesir Prof.Dr. Muhammad Abu Zahrah. Usia 26 tahun beliau dikukuhkan sebagai guru besar ilmu hadits pada Universitas Ummul Qura, Makkah, Arab Saudi.
Ini adalah sebuah prestasi luar biasa yang memang layak dicapai oleh seorang putra ulama besar dan termasyhur di Makkah dan Madinah. Sebagai ulama ahli tafsir dan hadits, beliau giat dalam kegiatan dakwah yang digelar Rabithah Alam Al- Islamy ( Liga Dunia Islam ) dan Mu'tamar Alam Islamy ( Organisasi Konferensi Islam ).
Pada tahun 1974, setahun setelah ayahnya wafat, Sayyid Muhammad Al-Maliky membuka pesantren yang di Utaibiyyah, Mekah. Uniknya, pesantren yang dibangun bersama Abbas, adik kandungnya itu, hanya menerima santri dari Indonesia.
Belakangan pesantren itu pindah ke kawasan yang lebih luas tapi agak jauh dari Masjidil Haram. Di pinggiran selatan kota Makkah di daerah Rushayfah, yang kemudian
diberi nama jalan Al-Maliky. Disana beliau banyak membina murid dari Indonesia. Sebagian dari ratusan alumnus yang pulang ke Indonesia, ada yang membuka pesantren dengan nama Al-Ma'had Al-Maliky
( Pesantren Al-Maliky ).
Dalam kehidupannya, Sayyid
Muhammad Al-Maliky pernah
mengalami berbagai cobaan hidup.
Pada tahun 1980-an terjadi perselisihan besar antara beliau dan beberapa ulama wahabi yang
didukung oleh Kerajaan Saudi. Sayyid Muhammad Al-Maliky
dituduh menyebarkan bid'ah dan
khurafat. Beliau kemudian dikucilkan, hingga pernah mengungsi ke Madinah selama bulan Ramadhan.
Persoalan itu kemudian meruncing, tetapi berhasil dicari jalan tengah dengan melakukan klarifikasi ( Dialog ). Waktu itu, Sayyid Muhammad Al-Maliky berargumen dengan kuat saat berhadapan dengan ulama yang juga mantan Hakim Agung Arab Saudi, Syekh Sulaiman Al-Mani'.
Dialog itu direkomendasikan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz, yang dikenal sebagai Mufti Kerajaan Arab Saudi waktu itu.
Syekh Abdul Aziz bin Baz sangat
berseberangan dengan Al-Maliky.
Dalam dialog / perdebatan Sayyid Muhammad Al-Maliky dengan Ulama wahabi yang ditayangkan TV setempat dimenangkan oleh Sayyid Muhammad Al-Maliky dan kian
mendapat simpati.
Konon diam-diam keluarga kerajaan Arab Saudi pun sebenarnya berpihak kepada Sayyid Muhammad Al-Maliky, namun takut diketahui mayoritas
pemeluk Wahabi.
Syekh Sulaiman Al-Mani' kemudian menerbitkan dialognya itu dalam bentuk buku yang diberi judul Hiwar - Ma'al Maliki Liraddi Munkaratihi wa Dhalalatih - (Dengan Maliki untuk menolak kemunkaran dan kesesatannya)
Syekh Shalih bin Abdul Aziz Al-Syaikh kemudian juga menerbitkan buku yang berjudul
-Hadzihi Mafahimuna-  (Inilah Pemahaman kami), yang menghantam pemikiran Sayyid
Muhammad Al-Maliky.
Sayyid Muhammad al-Maliky tak
tinggal diam. Beliau juga menerbitkan buku yang tak kalah
hebat dan populernya, dengan judul
- Mafahim allati Yajibu an Tushahhah -
( Paham-paham yang harus diluruskan ).
Buku ini kemudian menjadi buku andalannya dalam mempertahankan Pluralitas aliran di Tanah suci Makkah.
Sayyid Muhammad Al-Maliky didukung sejumlah Ulama non Wahabi yang mulai terpinggirkan.
Dalam berbagai dalih, Sayyid Muhammad Al-Maliky justru
mengusung pemikiran asli Syekh
Muhammad bin Abdul Wahab,
pendiri aliran Wahabi, yang ternyata banyak disalah artikan oleh ulama-ulama pengikutnya.
"Banyak kebohongan yang ditebarkan atas nama saya." Tulis Asy-Syaikh Muhammad Abdul Wahab.
Sayyid Muhammad Al-Maliky juga
seorang pakar yang banyak menyumbangkan karya-karya ilmiah dan aktif mengikuti pertemuan-pertemuan fiqih yang diadakan oleh Rabithah Alam Al- Islamy. Beliau tercatat pernah aktif di Kepanitiaan Musabaqah Tahfidz dan Tilawatil Qur'an di Makkah pada masa-masa
awal. Beliau banyak memberikan
ceramah, diskusi, seminar, terkait dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya, terutama Fiqih dan Hadits.
Pada tahun 2003, beliau menyampaikan makalah tentang negara islam di Malaysia yang mendapat liputan luas, karena pendapatnya yang sedikit kontroversial. Pemikiran Sayyid Muhammad Al- Maliky Banyak orang menyebut Sayyid Muhammad Al-Maliky sebagai
Al-'Allamah ( seseorang yang sangat mengetahui ilmu agama) atau Ulama besar. Bahkan, Syekh Muhammad Sulaiman Faraj, seoang ulama Makkah, menyebutnya sebagai Al-'Arifbillah ( seseorang yang telah memiliki derajat tinggi di
sisi Allah swt ).
Beliau dianggap sebagai pakar hadits yang disebut sebagai Al-Muwaththa' berjalan.
Sayyid Mhammad Al-Maliky juga
dikenal sebagai penukis produktif. Tak kurang dari 37 kitab berbagai topik telah ditulisnya. Bahkan ada yang mengatakan, beliau telah menulis lebih dari 50 karya. Karya-karya itu diterbitkan sendiri, lalu
dibagikan kepada para santri atau tamu-tamunya.
Beberapa karyanya telah
diterjemahkan ke berbagai bahasa,antara lain bahasa Indonesia, Melayu ( Malaysia ), Inggris dan bahasa Swahili ( Nigeria ). Karyanya yang termasyhur, antara lain :
• Mafahim allati Yajibu an-
Tushahhah ( Paham-paham yang
wajib diluruskan )
• Al-Insan al-Kamil ( Manusia
sempurna )
• Abwabul Faraj ( Pintu-pintu
kebahagiaan )
• Syaraful Ummah Muhammadiyah
( Keutamaan umat Muhammad )
• fiRihabi Baitillah ( Dala dekapan
rumah Allah swt )
• Zubdatul itqan fi Ulumil Qur'an
( Samudera ilmu-ilmu Al-Qur'an )
yang merupakan ringkasan Al-Itqan, karya Imam Suyuthi.
• Dll.
Kitabnya yang berjudul Mafahim
allati Yajibu an-Tushahhah membuka wawasan baru tentang
hal-hal yang Selama ini masih
menjadi polemik di kalangan
sebagian umat Islam. Perbedaan
pemahaman masalah bid'ah,
Syafaat, tasawuf dan tawasul,
misalnya tidak jarang menimbulkan pertentangan, permusuhan, bahkan saling mengkafirkan. Buku ini juga
menjelaskan pikiran Wahabi yang
orisinil. Kitab ini mendapat
sambutan 40 ulama besar dunia.
Banyak pujian muncul, perihal kitab ini. Salah satunya dari Syekh Hasanain Muhammad Makhluf, ulama besar Mesir. Ia mengatakan,wsetelah meneliti kitab tersebut dengan seksama, tampak sekali, pembahasan buku ini dapat dijadikan hujah ( alasan ) dan burhan ( bukti ) ajaran islam yang benar. Dalam buku ini, SayyidtMuhammad Al-Maliky juga telah meletakkan berbagai
permasalahan secara proporsional, menjauhi sikap berlebihan dan bersikap adil.
"Ia juga telah mencoba memperbaiki berbagai pemahaman keliru sambil memberikan nasihat kepada
saudara-saudarnya, kaum Muslimin."
Menurut Al-'Allamah Syekh
Muhammad Khazraj, untuk mewujudkan itu semua, Sayyid
Muhammad Al-Maliky menggunakanwberbagai dalil yang qath'i ( pasti ) serta argumentasi yang benar dan
rasional. Hal senada juga dikemukakan Syekh Muhammad Al-Thayyib Al-Najjar. Ia mengatakan, kitab Mafahim ini betul-betul merupakan yang cukup berarti mengenai berbagai faham yang diyakini sebagian orang yang menganggap bahwa
mengingkarinya sebagai suatu
kebatilan.
Dalam Zubdatul Itqan, Sayyid
Muhammad Al-Maliky mencoba
menyederhanakan tulisan Imam
Jalaluddin As-Suyuthi. Secara
tematis kitab ini dibagi menjadi
tujuh.
Pertama, membahas ayat pertama dan terakhir diturunkan.
Kedua, sebab-sebab turunnya ayat ( Asababun Nuzul ).
Ketiga,tpenghafal Al-Qur'an, ragam Qiraat dan cara periwayatannya.
Keempat, adab membaca Al-Qur'an dantkaidah-kaidah membaca Al-Qur'an.
Kelima, kata serapan dalam Al-
Qur'an dan seputar pengutipan
ayat-ayat Al-Qur'an.
Keenam, mengenai tata bahasa, sisi makna dan bandingan kata dalam Al-Qur'an.
Ketujuh, tingkatan mufasir dan beberapa kaidah yang harus
diketahui oleh mufasir.
Pendapat orang tentang Sayyid
Muhammad Al-Maliky
• Syekh Hasanain Muhammad
Makhluf mengatakan :
Sayyid Muhammad Al-Maliky sangattpantas untuk diakui sebagai pakar Islam, Ulama Al-Haramain asy- Syarifain, Ulama besar yangtmendapatkan pancaran sinar Ilahi dan Percikan Sunah Nabi saw.
• Syekh Muhammad Khazraj
( Sejarawan dan Ahli Fiqih, mantan Menteri Keadilan, Kehakiman, agama dan Wakaf Uni Emirat Arab ) :
Sayyid Muhammad Al-Maliky adalah seorang Alim yang tersinari pohon kenabian dan berkah keturunan Bani Hasyim.
• Syekh Muhammad Ath-Thayyib
Najjar ( Mantan Rektor Al-Azhar, Kairo ) :
Kehidupan Sayyid Muhammad Al-Maliky bagaikan kehidupan sebatang pohon yang rindang, yang tumbuh di Padang subur dan mengembang dalam lingkungan alam yang baik, serta
senantiasa diurus dan dipelihara, sehingga tumbuh semakin rindang.
Dedaunannya demikian subur dan buah-buahannya tampak ranumwdan segar sehingga dapat dinikmatitsemua orang.
• Prof.Dr.Rauf Syalabi ( mantan wakiltSyekh Al-Azhar ) :
Sayyid Muhammad Al-Maliky sebagai Ulama yang sangat berakhlaq. Saya telah mengenalnya sejak ia menjadi
mahasiswa pascasarjana Universitas Al-Azhar. Sayyid Muhammad Al-Maliky adalah seorang Mahaguru yang agung dan kharismatik. Beliau termasuk ulama yang jumlahnya
tidak banyak. Beliau termasuk ulama yang konsisten dalam
memperjuangkan islam berdasarkan ilmu dan pemikiran seta mengikuti hidayah. Orang seperti beliau tidak membutuhkan al-ta'rif (pengenalan) atau semacam
rekomendasi dan pengakuan resmi.
• Dr. Ahmad Umar Hasyim
( mewakili Ulama Universitas Al-
Azhar ) :
Sayyid Muhammad Al-Maliky sebagai Ulama yang bisa dibanggakan Arab Saudi.
• Syekh Muhammad Al-Audh
( Mantan Mufti dan ketua Dewan
Fatwa Syariat Islam Sudan ) :
Sayyid Muhammad Al-Maliky sebagai Pelayan ilmu Masjidil Haram. Tradisi Sadah di Mekah.
Ayahanda Sayyid Muhammad , yaitu Sayyid Alawy bin Abbas Al-Maliky lahir di Mekah tahun 1328 H adalah ulama terkenal. Di samping aktif berdakwah di Masjidil Haram dan kota-kota lain yang berdekatan seperti Thaif, Jeddah dan sebagainya, Sayyid Alawy adalah Ulama pertama yang memberi ceramah di radio Saudi setelah Shalat Jum'at dengan judul Haditsul
Jum'ah. Kakek Sayyid Muhammad, yaitu Sayyid Abbas adalah seorang Qadhi ( hakim ) yang selalu diundang masyarakat Mekah jika ada
perayaan pernikahan.
Selama menjalankan tugas dakwah, Sayyid Alawy selalu membawa kedua putranya, Sayyid Muhammad dan Sayyid Abbas. Adapun yang meneruskan aktivitas dakwahnya kemudian adalah Sayyid Muhammad; sementara Sayyid Abbas selalu berurusan dengan kemaslahatan kehidupan ayahnya. Sebagaimana adat Sadah ( jamak Sayyid,keturunan Rasulullah ) dan Asyraf ( jamak syarif, orang-orang keturunan orang mulia ahli Mekah) Sayyid Muhammad Al-Maliky selalu tampil beda dengan ulama Saudi lainnya. Beliau mengenakan jubah, serban (Imamah) dan burdah atau Rida ( selendang ) yang biasa dikenakan asyraf Mekah.
Sebagai penerus ayahnya, Sayyid Muhammad Al-Maliky mengajar di Masjidil Haram secara halakah dan beliau diangkat sebagai dosen di
Universitas King Abdul Aziz, Jeddah dan Universitas Ummul Qura, Mekah, untuk ilmu Hadits dan Ushuluddin.
Namun setelah cukup lama menjalan tugas sebagai dosen
di dua Universitas tersebut, beliau mengundurkan diri dan memilih mengajar di Masjidil Haram sambil membuka majlis Taklim dan pondok di rumah beliau.pelajaran yang dberikan di Masjidil Haram atau rumah tidak terfokus pada ilmu tertentu seperti Universitas, melainkan juga semua pelajaran yang bisa diterima masyarakat, baik awam maupun terpelajar. Karena
beliau punya keinginan untuk
membuat rumah yang lebih besar
dan bisa menampung lebih dari 500 murid. Dari rumah beliau telah lahir ulama-ulama yang tersebar di India, Pakistan, Afrika, Eropa, Amerika, apalagi Asia, yang merupakan orbit
dakwahnya. Ribuan murid beliau
tidak hanya menjadi Kyai dan Ulama, tetapi tidak sedikit juga yang masuk ke dalam birokrasi.
Disamping mengadakan pengajian dan taklim yang rutin setiap hari, beliaupun mendirikan pondok yang jumlah santrinya tidak sedikit. Mereka berdatangan dari seluruh
penjuru dunia, belajar, makan dan
minum tanpa dipungut biaya
sepeserpun, bahkan beliau
memberikan beasiswa kepada para santri sebagai uang saku. Setelah beberapa tahun belajar, para santri dipulangkan ke negara masing-masing untuk mensyiarkan agama.
Sayyid Muhammad Al-Maliky dikenal sebagai guru yang tidak beraliran keras. Beliau selalu menerima dialog dengan hikmah dan mauidzah hasanah ( petuah yang bagus ). Beliau ingin mengangkat derajat dan martabat kaum muslimin menjadi
manusia yang berprilaku baik dalam muamalatnya kepada Allah swt dan kepada manusia, terhormat dalam perbuatan, tindakan, serta pikiran
dan perasaan. Sayyid Muhammad Al-Maliky dikenal sebagai orang yang cerdas dan terpelajar, berani dan jujur, serta adil dan bercinta kasih
terhadap sesama.
Beliau juga selalu menghargai
pendapat orang lain dan
menghormati orang yang tidak
sealiran dengannya. Beliau selalu
bersabar terhadap mereka. Semua yang berlawanan diterima dengan senyum. Sayyid Muhammad Al- Maliky berusaha menjawab dengan hikmah dan menyelesaikan masalah dengan kenyataan dan dalil-dalil
yang jitu, bukan dengan emosi dan pertikaian yang tidak bermutu. Beliau tahu persis, kelemahan islam terdapat pada pertikaian para ulamanya. Dan ini memang yang diinginkan musuh islam. Sampai-sampai Sayyid Muhammad Al-Maliky menerima dengan rela digeser dari
kedudukannya di Masjidil Haram.
Beliau selalu menghormati orang-
orang yang berpandangan khilaf
yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah.
Ulama yang mendapat gembelengan dari Sayyid
Muhammad Al-Maliky selalu
menonjol. Disamping menguasai
bahasa Arab, mereka menguasai
ilmu agama yang cukup untuk
dijadikan referensi di negara-negara mereka. Ketika terjadi teror di Arab Saudi, Sayyid mUhammad Al-Maliky diminta berbicara pada Hiwar Fikri ( Dialog Pemikiran ) yang
diselenggarakan Ketua Umum
Kepengurusan Masjidil Haram,
Syekh Shaleh bin Abdurrahman Al-Hashin pada 5-9 Zulkaidah 1424 H.
Dengan topik diskusi tentang
ekstremisme, beliau mengeluarkan pendapat tentang thatarruf
( Fundamentalis dan extremis ). Dan dari ana kemudian menulis buku yang sangat populer di kalanan masyarakat Arab Saudi, berjudul Al-Ghuluw Dairah bin Irhab wa Ifsad
Al-Mujtama ( Kesesatan dalam teror dan Penghancuran Pranata Sosial ). Sejak itu, pandangan da pemikiran
Sayyid Muhammad Al-Maliky tentang dakwah selalu mendapat sambutan dan penghargaan masyarakat.
Selain sebagai Dai', pengajar,
pembimbing, dosen, penceramah
dan penggerak segala bentuk
kegiatan bermanfaat bagi agama, Sayyid Muhammad Al-Maliky juga dikenal sebagai seorang pujangga besar dan penulis unggul. Tidak
kurang dari 100 buku telah ditulis dan beredar ke seluruh dunia. Tak sedikit kitabnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Urdu, Indonesia dan sebagainya.
Wafatnya Sayyid Muhamad bin
Alawy Al-Maliky
Kisah Habib Hamid bin Zaid bin
Muhsin bin Salim Al-Aththas saat terakhir kali bersama Sayyid Muhammad Al-Maliky.
Hamid Al-Hamid pernah menempuh pendidikan di Pesantren Darul Mustafa dan telah menikah dengan adik perempuan istri Sayyid
Muhammad Al-Maliky. Seminggu
sebelum Ramadhan 1425 H, Habib
Hamid menerima telepon dari
Sayyid Muhammad Al-Maliky di
Mekah dan memintanya untuk
datang ke Mekah untuk umrah dan menemuinya.
Habib Hamid memenuhi undangan
tersebut dan bersama istrinya segera mempersiapkan segala keperluan untuk keberangkatannya. :Tiket dan
visa sudah diurus oleh biro
perjalanan yang ditunjuk Abuya
( panggilan hormat untuk Sayyid
Muhammad Al-Maliky ). Ayahanya mengurus paspor. Seluruh biaya juga ditanggung Abuya." Kata Habib Hamid.
Hari kedua Ramadhan, ceritanya, Sayyid Muhamad Al-Maliky kembali meneleponnya. Beliau meminta Habib Hamid untuk segera terbang ke Mekah. "Kamu harus cepat menyelesaikan urusanmu, segeralah terbang ke Mekah."
Kata Sayyid Muhammad Al-Maliky terkesan agak cemas. Hari keempat Ramadhan, kembali beliau menelepon untuk
memastikan Habib Hamid dan
istrinya jadi berangkat. "
Ketika itu Abuya bilang agar saya langsung saja terbang ke Madinah untuk berziarah ke Makam Rasulullah saw dan shalat di Masjid Nabawi. Sekali
lagi, saat itu, beliau meminta agar
secepatnya sampai di Mekah."
Tepat pada 5 Ramadhan 1425 H,
Habib Hamid dan istri terbang
menuju Madinah. Di bandar udara, dijemput oleh salah seorang murid Sayyid Muhammad Al-Maliky dan
membawanya ke hotel yang telah
disediakan. Dua hari di Madinah,
kemudian terbang ke Mekah. " Saya sampai di Mekah pada tanggal 8 Ramadhan dan langsung istirahat di hotel yang disediakan Abuya. Sorenya baru dijemput oleh Habib Isa bin Abdul Qadir, salah satu
murid beliau. Untuk menemui orang yang paling saya kagumi, Sayyid Muhammad Al-Maliky Al-Hasany.
"Sungguh tegang dan jantung
berdetak lebih keras dari biasanya."
Sore itu, seusai sholat Asar, Abuya menerima para habaib di ruang kerjanya. " Beliau memelukku, mengucap selamat datang dan bertanya kabar teman dan muridnya di Indonesia, seperti Habib Abdurrahman Assegaf ( Bukit Duri ),
Habib Abdullah Al-Kaf, K.H Abdullah Faqih ( Langitan ) dan ulama lainnya.
Saya jawab semua baik-baik saja. Setelah itu saya kembali ke hotel. Beliau pesan, agar nanti berbuka puasa bersama dengannya."
Ketika saat berbuka puasa hampir tiba, utusan Sayyid Muhammad Al-Maliky menjemput Habib Hamid.
"Hamid, apa yang kau bawa dari
Indonesia." Tanya Abuya tiba-tiba, saat Habib Hamid masuk ke ruang kerjanya.
"Saya membawa dodol durian
kesukaan Abuya!" jawab Habib
Hamid. Wajah Sayyid Muhammad Al-Maliky tampak gembira sekali. Beliau langsung membagikan oleh-oleh itu kepada teman-teman dan muridnya yang ada disitu. Beliau juga langsung mencicipinya, kebetulan saat buka puasa tiba.
"Ada titipan lagi buat saya?" tanya Abuya lagi.
"Ya, saya membawa buah mangga dan kelengkeng"
Dahi Abuya berkerut. "Kelengkeng? Buah apa itu ?" tanya beliau.
Habib Hamid menjelaskan buah
kelengkeng dan meminta beliau
mencobanya.
"Abuya tampak suka sekali buah itu, dan memakannya sampai menjelang shalat isya"
tutur Habib Hamid.
Malam itu, tepat malam tanggal 9
Ramadhan 1425 H, Habib berkesempatan shalat isya dan
tarawih berjamaah bersama Sayyid Muhammad Al-Maliky. Saat itu ikut berjamaah beberapa ulama dari Turki, Mesir dan beberapa negara lain. Tiba-tiba Sayyid Muhamad Al-
Maliky memanggil Habib Hamid.
"Hamid bin Zaid, kamu jadi imam
Tarawih!" kata Sayyid Muhammad Al-Maliky.
Habib Hamid tidak merasa namanyawyang dipanggil, sebab ia merasa tidak mungkin ditunjuk menjadi imam. Sementara disitu banyak ulama besar yang pasti lebih layak menjadi imam shalat tarawih. Sekali lagi Sayyid Muhammad Al-Maliky memanggil Habib Hamid.
"Hamid bin Zaid, kamu yang akan
menjadi imam."
"Sulit dipercaya, saya yang masih muda ini ditunjuk menjadi imam. Sementara di belakang saya ada Abuya dan ulama-ulama besar yang disegani. Sungguh, saya gemetar.
Membaca surah Al-Fatihah yang
biasanya lancar di luar kepala pun, menjadi terasa sanagt sulit.
Alhamdulillah.....saya mampu
melewati ujian berat itu dengan
baik, meskipun harus gemetaran."
Selesai shalat tarawih, Sayyid
Muhammad Al-Maliky membaca
shalawat dan qasidah. "Menurut
murid-muridnya, setiap Ramadhan, seusai shalat, beliau selalu membaca Qasidah Sayyidah Khadijah Al-Kubra.
"Beliau juga sering berziarah
ke makam istri pertama Nabi saw
bersama keluarganya. Sebelum
meninggalkan masjid, beliau
memanggil dan menyuruh saya
umrah malam itu juga."
"Sebelum saya berangkat umrah,
Abuya sempat menanyakan keadaan Indonesia. Beliau ingin berkunjung ke Indonesia, bertemu dengan para ulama dan murid-muridnya. Tapi wakyunya belum tepat, beliau bilang, kesibukan menulis buku dan
pertemuan dengan para ulama
Mekah, sangat menyita waktunya."
Pada 10 Ramadhan, kembali Abuya memanggil Habib Hamid untuk shalat tarawih bersama dan untuk kedua kalinya menyuruhnya umrah.
"Ajaklah istrimu untuk umrah dan
kembalilah untuk shalat shubuh
berjamaah, pesan Abuya sebelum
saya berangkat umrah. Saya pun
berpamitan sambil meminta izin
untuk pergi ke Jeddah, sekadar
silaturrahmi ke saudara-saudara istri saya. Abuya hanya memberi izin dengan isyarat tangan dan wajah menunduk. Saya merasa, beliau tidak ingin mengizinkan saya pergi, tapi juga tidak ingin mencegah. Saya akhirnya memutuskan untuk tidak pergi ke Jeddah."
Pagi hari tanggal 11 Ramadhan,
Habib Hamid shalat Subuh bersama bersama Sayyid Muhamad Al-Maliky. Beliau terkejut saat saya berada di
sampingnya.
"Kamu tidak jadi pergi ke Jeddah?" tanya Abuya
"Tidak Abuya" sahut Habib Hamid.
"Bagus!" jawab Abuya sambil
memeluknya.
Malamnya, seperti hari sebelumnya, Habib Hamid berjamaah shalat tarawih yang diakhiri dengan membaca qasidah Sayyidah Khadijah Al-Kubra. Malam itu juga, Habib Hamid mendapat perintah
Sayyid Muhammad Al-Maliky untuk umrah yang ketiga kalinya.
"Pada 12 Ramadhan, selesai shalat Isya, Abuya menyuruhku untuk umrah yang keempat kalinya. Katanya, itu adalah umrah terakhir atas perintahnya. Perasaan saya
memang tak enak saat beliau
mengatakan itu. Ah, mungkin beliau punya rencana lain untuk saya besok."
Rabu 13 Ramadhan, untuk kedua
kalinya, Habib Hamid ditunjuk
menjadi Imam Tarawih oleh Sayyid Muhammad Al-Maliky. Saat itu jemaanya sekitar 200 orang, sebagian besar adalah tamu-tamu Abuya.
"Malam itu, beliau merasa
letih dan kakinya kesemutan." Cerita Habib Hamid.
Di luar kebiasaan pula, kali ini, Abuya tidak membaca sholawat dan qasidah. Beliau meminta murid-muridnya, Bilal, Burhan, Aqil Al-Aththas dan satu murid asal Kenya, membacakan secara bergantian. Sayyid Muhammad Al-Maliky kelihatan sangat lelah. Maklum terkadang selama hampir 24 jam terjaga. Tamunya tak pernah berhenti mengalir, dan di sela waktu
luangnya, masih tekun Menulis dan membaca buku.
Perpustakaan di rumah tinggalnya sampai membutuhkan tiga lantai. Kamarnya juga penuh dengan buku. Selain itu, beliau juga suka berkebun, tanahnya luas. "Abuya juga punya kebun buah yang cukup luas." Kata Habib Hamid.
Akhirnya, Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliky masuk rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. Menurut dokter, kondisinya cukup baik, hanya
perlu istirahat di rumah sakit.
Pada kamis 14 Ramadhan, istri dan keluarga beliau menjenguk.
" Apa kabar Hamid bin Zaid ? kamu betah disini ?" tanya Abuya ambil memandangku. Seperti biasanya, wajahnya kelihatan gembira, tidak
seperti orang yang sedang sakit.
" Kami tidak lama di rumah sakit,
karena istri dan anak-anak Abuya akan berziarah ke Ma'la, ke makam Sayyidah Khodijah Al-Kubra. Ziarah kali aneh. Biasanya istri Abuya tidak
pernah turun dari mobil. Beliau
membaca sholawat dan qasidah
dari dalam mobil. Eh, hari itu beliau
dan semua anggota keluarga
bersama-sama Al-Fatihah di makam istri pertama Rasulullah saw." Ungkap Habib Hamid.
Malamnya, murid dan kerabat beliau berkumpul di rumah akit. Wajah beliau tidak berubah, tetap gembira, seperti tidak sedang sakit. " Sekitar jam 20.00. dokter datang, dan
mengatakan Abuya sudah sembuh. Kami semua memekik, Allahu Akbar!"
Sesaat kemudian, Sayyid
Muhammad Al-Maliky meminta izin kepada dokter untuk menengok keluarga dan murid-muridnya. Tepat jam 00.00, beliau keluar dari rumah sakit. Sebelum masuk ke mobil, Abuya menghadap ke langit selama
dua menit. Bilal, salah satu muridnya bertanya,
" Ada apa, Abuya ?"
Beliau menjawab,
" tidak ada apa-apa" .
saat itu, seharusnya bulan sedang purnama sangat indah, namun malam itu justru tertutup awan. " Sebelumnya dalam beberapa hari terakhir, beliau selalu meminta agar murid-muridnya melihat bulan, dan
bertanya apakah bulan sudah
kelihatan ?"
Dari rumah sakit, beliau tidak
langsung ke rumah, tapi ke pondok pesantren, untuk menemui murid-murinya. Saat itu jam 03.00. " Saya sendiri yang membukakan pintu gerbang. Setelah itu, datang Sayyid
Abbas, adiknya, bersama keluarga yang lain. Kami bersama-sama membaca qasidah, lalu terlibat dalam obrolan yang sesekali diselingi dengan tertawa lebar"
cerita Habib Hamid sambil
mengenang peristiwa penting itu.
Pertemuan malam itu, katanya,
diakhiri dengan sahur bersama.
Sebelumnya, Abuya sempat
bertemu kakaknya dan bikin
perjanjian untuk berbuka puasa
hanya dengan tiga buah kurma dan air zamzam. " Pas jam 04.00, beliau meminta semuanya istirahat dan bersiap shalat shubuh. Beliau sendiri
masuk ke kamar kerjanya."
Di kamar itu, beliau ditemani Bilal
dan Burhan. Tapi Bilal diminta keluar kamar. Saat itulah, Sayyid Muhammad Al-Maliky tiba-tiba bertanya kepada Burhan. " Hai, Burhan. Aku sebaiknya istirahat di
kursi atau di Bumi ( maksudnya
karpet ) ?" " Terserah Abuya." Sahut Burhan bingung. Karena tidak tahu harus menjawab Abuya. Bagaimana mungkin seorang murid memutuskan sesuatu untuk gurunya ?
" Saya akan istirahat di bumi saja." Kata Sayyid Muhammad Al-Maliky. Beliau kemudian duduk menghadap kiblat dan bersandar. Sesaat, sempat
mengambil buku dari tangan
Burhan. Tapi kemudian diletakkan di meja, lalu Beliau menengadah menyebut,
"Lailaaha illallah...Innalillahi wainna ilaihi raji'un..........."
hanya itu yang terucap dari mulut Burhan. Hari tepat tanggal 15 Ramadhan 1425 H atau 29 Oktober 2004, saat pagi mulai membuka kehidupan, Sayyid Muhammad bin Alawy bin Abbas Al-Maliky Al-Hasany wafat.
Jenazah almarhum langsung
dibawa ke rumah sakit. Dokter
menyuruh semua keluarga dan
murid-murid beliau untuk pulang ke Pondok Pesantren. Tepat seusai shalat subuh, ambulan rumah sakit yang membawa jenazah Abuya, tiba di kediaman beliau. " saya pingsan. Ya, sepertinya, pertemuan saya
dengan beliau hanya untuk
mengantarkan jenazahnya ke Ma'la, tempat beliau di makamkan, dekat dengan makam Sayyidah Khadijah
Al-Kubra, yang qasidahnya dibaca setiap kali selesai shalat tarawih." Pemakaman Sayyid Muhammad Al- Maliky Jum'at petang persis menjelang
malam Nuzulul Qur'an, di Masjidil
Haram, Mekah, jenazah Sayyid
Muhammad Al-Maliky di sholatkan.
Dengan iringan tahlil dan tasbih
( suatu amalan yang jarang
dilakukan, karena dianggap bid'ah bagi kaum Wahabi ), sekitar 25 000 muslimin Mekah dan sekitarnya mengantarkan jenazah Ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini ( menurut cerita, bagi orang-orang yang menggotong jenazah/berdekatan dengan jenazah, mereka mencium aroma harum yang wangi ). Sepanjang jalan yang dilewati konvoi dan iring-iringan, orang berjubel keluar rumah dan toko, memberikan penghormatan terakhir pada ulama yang pernah beberapa tahun mengisi pengajian di Masjidil Haram ini. Sebagian besar ada yang mematikan lampu, tanda memberi hormat. Ada seorang pria berkulit hitam berteriak histeris karena tekanan duka dan bela sungkawa itu.
Bahkan pangeran Sultan bin Abdul aziz, perdana menteri dua Kerajaan Arab Saudi yang juga merangkap menteri pertahanan dan penerbangan sipil,menyempatkan bertakziah, mewakili raja Fahd, pada
hari ke empat di Rushayfah.
Pangeran Sultan yang didampingi Gubernur Mekah, Pangeran Abdul Majid dan sejumlah pejabat tinggi negara.
" Allah swt telah memilihkan hari
yang baik dan bulan yang baik buat Syekh Muhammad Al-Maliky. Sebab pada bulan ini, Allah swt memerintahkan hamba-Nya untuk melaksanakan ibadah sebanyak-banyaknya."
Kata Pangeran Sultan seperti dikutip harian Al-Wathan.
Putra mahkota Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz, Kamis 4 November 2004, berkenan menerima keluarga Sayyid Muhammad Al-Maliky di istana Ash-Shafa, Mekah. Pangeran
Abdullah sempat mendoa'kan
Sayyid Muhammad Al-Maliky dan
menyebut beliau sebagai Ulama
kebanggan Arab Saudi.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter