-->

Teroris ? Radikalis ?

Post a Comment
Definisi radikal sangat bias. Barat menjelaskan secara simplistik bahwa Radicalism banyak diasosiasikan dengan mereka yang berbeda pandangan secara ekstrim dengan dunia Barat.
Istilah deradikalisasi sama biasnya saat Barat mendefinisikan terorisme. Terorisme adalah labelisasi ke kelompok atau individu Muslim yang secara fisik atau non-fisik mengancam kepentingan global Imperialism Barat. Di Indonesia, dengan asumsi definisi terorisme tidak ada kesepakatan global, akhirnya pemaknaan dan implementasi Counter-terrorism melahirkan banyak korban dan umat Islam menjadi obyek sasaran. 

Dalam konteks perang terhadap terorisme, pemaknaan radikal sangat Stereotype, Oversimplification dan Subjectivity. Label radikal kini dilekatkan ke individu atau kelompok Muslim yang memiliki cara pandang serta sikap keberagamaan dan politik yang kontradiksi dengan arus utama. Dengan katagorisasi sebagai alat identifikasi, 'radikal' adalah orang atau kelompok yang memiliki prinsip-prinsip seperti; menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikirannya, mengganti ideologi Pancasila dengan versi mereka, mengganti NKRI dengan Khilafah, gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama, memperjuangkan formalisasi Sharia dalam negara, menggangap Amerika Serikat sebagai biang kezaliman global.

Amerika Serikatlah yang berkepentingan dalam proyek deradikalisasi dan Liberalization. Proyek deradikalisasi adalah topeng yang bisa menyembunyikan kepentingan busuk dunia Barat (Amerika Serikat, cs) untuk melanggengkan imperialismenya. Deradikalisasi dianggap sebagai cara efektif jangka panjang dan soft untuk mewujudkan tatanan dunia Islam yang ramah dan mengakomodasi ideologi Capitalism-Secularism yang mereka jajakan. Proyek ini klop dengan sistem sekular yang dijaga siang dan malam keberlangsungannya oleh para penguasa yang mengekor pada kepentingan Barat, dengan mendapat imbalan pujian dan kemaslahatan sesaat. 

Deradikalisasi cukup berbahaya untuk umat Islam karena berpotensi menyimpang, melahirkan tafsiran-tafsiran yang menyesatkan terhadap nash-nash syariah, membangun pemahaman yang konstruksi dalil dan argumentasi (hujjah) lemah, menyelaraskan nash-nash syariah terhadap realitas sekular dan memaksakan dalil mengikuti konteks aktualnya. Contohnya adalah upaya Tahrif (penyimpangan) pada makna Jihad, tasamuh (Toleration), syura dan Democracy, Hijra, Taghut, muslim dan kafir, ummat[an] washat, klaim kebenaran, doktrin konspirasi (QS al-Baqarah: 217) serta upaya kriminalisasi dan monsterisasi terminologi Daulah Islam dan Khilafah.

Selain itu, umat akan terpecah belah dengan katagorisasi radikal-moderat, fundamentalis-liberal, ekstrem-rahmatan, gariskeras-toleran dan istilah lain yang tidak ada dasar pijakan dalam Islam. Ini mirip langkah Orientalism memecah belah umat Islam dengan memunculkan istilah 'Islam putihan' (berasal dari bahasa Arab: muthi'an/taat) dan 'Islam abangan' (aba'an/pengikut/awam). Umat Islam yang taat ditempatkan sebagai musuh karena membahayakan penjajahan. 

Bahaya deradikalisasi berikutnya adalah: menyumbat langkah kebangkitan Islam serta menjadikan umat jauh dari pemahaman dan sikap berislam yang kaffah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Akhirnya umat tidak mampu menjadikan Islam sebagai akidah dan syariah secara utuh serta sebagai pedoman spiritual dan kehidupan politik. Maka bisa disimpulkan bahwa deradikalisasi sesungguhnya adalah upaya deislamisasi terhadap mayoritas umat Islam yang menjadi penghuni negeri ini.
Bahaya deradikalisasi dan liberalisasi harus diketahui publik, bahwa inilah topeng dusta negara penjajah untuk menjauhkan keluarga dan anak-anak dari Islam. Sebaliknya melanggengkan imperialisme dan budaya rusak.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter